Beranda | Artikel
Masalah Seputar Shalat Berjamaah
Senin, 11 November 2024

Masalah Seputar Shalat Berjamaah ini merupakan bagian dari kajian Islam ilmiah Kitab Shahihu Fiqhis Sunnah wa Adillatuhu yang disampaikan oleh Ustadz Dr. Musyaffa Ad-Dariny, M.A. Hafidzahullah. Kajian ini disampaikan pada Senin, 9 Jumadil Awal 1446 H / 11 November 2024 M.

Kajian Tentang Masalah Seputar Shalat Berjamaah

Pada kesempatan kali ini, kita akan membahas beberapa masalah yang berkaitan dengan shalat berjamaah. Pembahasan ini hanya akan mencakup sebagian dari banyak masalah yang terkait dengan shalat berjamaah. Pertama, kita akan membahas tentang sutrah (pembatas yang diletakkan di depan seseorang ketika sedang shalat sebagai batas dari tempat sujudnya).

Dalam beberapa pertemuan sebelumnya, kita telah membahas tentang sutrah ini. Apakah sutrah itu wajib, seperti yang dikatakan oleh sebagian ulama, ataukah sutrah hanya sunnah muakkadah, sebagaimana disebutkan oleh mayoritas ulama? Dalam pembahasan itu, kita menguatkan pendapat mayoritas ulama bahwa sutrah dalam shalat adalah sunnah muakkadah, bukan wajib, tetapi sangat dianjurkan, hampir mendekati derajat wajib.

Lihat pembahasan: Sunnah-Sunnah Fi’liyah dalam Shalat

Hal yang dibahas kali ini adalah bahwa sutrah dari imam juga menjadi sutrah bagi makmumnya. Artinya, jika imam sudah menghadap ke sutrah, maka makmum tidak perlu lagi menggunakan sutrah karena sutrah imam sudah mencukupi bagi makmumnya.

Bagaimana jika ada orang yang berjalan di depan makmum? Apakah makmum harus menghadangnya? Jawabannya, tidak perlu. Orang tersebut boleh berjalan di depan makmum yang shalat di belakang imam, tetapi tidak boleh berjalan di depan imam sampai batas sutrah imam. Jika orang tersebut berjalan di luar batas sutrah imam, maka hal itu dibolehkan.

Di sini ada hadits yang diriwayatkan dari sahabat Ibnu Abbas radhiallahu ‘anhuma. Beliau mengatakan,

أَقْبَلْتُ رَاكِبًا عَلَى حِمَارٍ أَتَانٍ وَالنَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُصَلِّي بِالنَّاسِ بِمِنًى إِلَى غَيْرِ جِدَارٍ، فَمَرَرْتُ بَيْنَ يَدَي بَعْضِ الصَّفِّ، فَنَزَلْتُ فَأَرْسَلْتُ الأَتَانَ تَرْتَعُ فَدَخَلْتُ فِي الصَّفِّ فَلَمْ يُنْكِرْ عَلَيَّ أَحَدٌ

“Aku datang menunggangi seekor keledai, sementara Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam sedang shalat bersama orang-orang di Mina tanpa menghadap dinding (sutrah). Aku pun melewati di depan sebagian shaf makmum, kemudian turun dari keledai dan melepaskannya untuk makan rumput. Lalu, aku masuk ke dalam shaf, dan tidak ada seorang pun yang mengingkari perbuatanku.” (HR. Bukhari dan Muslim)

Kisah ini menunjukkan bahwa hal tersebut dibolehkan. Jika hal itu tidak dibolehkan, tentu ada yang mengingkarinya, mengingat para sahabat yang bersama Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam pada peristiwa Haji Wada’ itu sangat banyak. Sebab, saat itu adalah haji pertama dan terakhir bagi Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, sehingga banyak sahabat yang bersemangat berhaji bersama beliau. Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam mengimami manusia di Mina, dan sangat mungkin yang shalat bersama beliau saat itu jumlahnya banyak sekali. Tidak ada satu pun dari mereka yang mengingkari tindakan Ibnu Abbas yang menaiki keledai dan melewati sebagian shaf sebelum ikut shalat bersama jamaah.

Oleh karena itu, jika ada seseorang yang melewati depan shaf kita saat kita sedang menjadi makmum, tidak perlu dicegah, kecuali jika ada alasan lain, bukan alasan ibadah. Misalnya, jika kita memiliki barang berharga di depan kita yang bisa rusak jika diinjak, seperti HP. Dalam hal ini, kita boleh memberi tanda atau mengingatkan orang tersebut agar tidak merusaknya. Begitu juga dengan kacamata atau barang lain yang diletakkan di depan shaf. Orang yang ingin melewati shaf sebaiknya berhati-hati agar tidak merusak barang-barang jamaah di depannya.

Adapun imam, sebaiknya berusaha semaksimal mungkin -tidak wajib- mencegah siapa pun untuk lewat di depannya hingga batas sutrah yang telah diletakkan. Hal ini didasarkan pada hadits dari Amr bin Syaib dari ayahnya dari kakeknya yang mengatakan:

هَبَطْنَا مَعَ رَسُولِ اللهِ صَلَّى اللّٰهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مِنْ ثَنِيَّةِ أَذَاخِرَ، فَحَضَرَتِ الصَّلَاةُ يَعْنِي فَصَلَّى إِلَى جِدَارٍ فَاتَّخَذَهُ قِبْلَةً، وَنَحْنُ خَلْفَهُ، فَجَاءَتْ بَهْمَةٌ تَمُرُّ بَيْنَ يَدَيْهِ، فَمَا زَالَ يُدَارِئُهَا حَتَّى لَصِقَ بَطْنُهُ بِالْجِدَارِ، وَمَرَّتْ مِنْ وَرَائِهِ

“Kami turun bersama Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam dari Thaniyyah Adzakhir. Ketika waktu shalat tiba, beliau shalat menghadap ke dinding yang dijadikan sebagai sutrah, sementara kami berada di belakang beliau. Kemudian datanglah seekor anak domba kecil yang ingin melewati depan Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam. Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam terus menghalangi domba kecil itu hingga perut beliau menempel pada dinding, dan domba itu pun melewati dari belakang beliau.” (HR. Abu Dawud, Ibnu Majah, Ahmad)

Hadits ini menunjukkan semangat Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam untuk mencegah hal-hal yang akan melewati depannya saat shalat. Karena itu, seorang imam sebaiknya mengambil contoh dari beliau dengan berusaha semaksimal mungkin agar tidak dilewati apa pun.

Mungkin ada yang bertanya, bagaimana jika yang akan melewati adalah anak kecil? Anak kecil memang kurang akalnya sebagaimana domba yang tidak berakal, sehingga tetap perlu dicegah agar tidak melewati depan imam. Namun, cara mencegahnya harus berhati-hati agar tidak menimbulkan mudarat lebih besar, seperti anak kecil tersebut terjatuh.

Bagaimana penjelasan lengkapnya? Download dan simak mp3 kajian yang penuh manfaat ini.

Download mp3 Kajian


Artikel asli: https://www.radiorodja.com/54686-masalah-seputar-shalat-berjamaah/